Archive for 2016

Tangisan Kecil


Kamis, 21 April 2016

Hari ini adalah Hari Kartini, dimana semua siswi sekolah ditata sedemikian rupa untuk menjadi seorang Kartini muda. Tidak terkecuali adik gue yang besar, Nuri, dan keponakan gue, Sevi. Mereka ditata rias oleh teman Nyokap. Dengan mengenakan kebaya merah maroon hasil desain sendiri dan jarik cokelat dengan aksen ukiran putih yang membuat perpaduan warna yang pas saat dikenakan. Mereka terlihat cantik hari ini.

Seperti layaknya anak kecil yang masih polos, mereka malas memebersihkan make up diwajah mereka. Sampai sore tadi, wajah mereka masih berhias bedak tebal dan mata bulat mereka dikelilingi lingkaran hitam akibat lukisan pensil alis dari jemari lentiknya mbak-mbak salon.

Ketika gue mau mandi, gue suruh mereka untuk mandi juga. Berkali-kali gue ingatkan, tapi mereka tidak ada respon. Setelah gue mandi, gue ngaca. Ternyata sama saja, tidak ada yang berubah. Soalnya berkali-kali gue nyuruh adik gue yang paling kecil mandi dengan kata-kata mutiara seperti ini, ‘Shaffa, mandi dulu yuuk. Mandi biar wangi, cantik, dan bersih.’. Setelah gue mandi, gue selalu ngaca. Bersih iya. Wangi iya. Itu pun kalo gue mandi pake sabun wangi, soalnya terkadang gue mandi pake terasi. Oke, itu tadi cuma bercanda. Sumpah! Itu lelucon.

Tapi, setiap kali gue ngaca kok tidak ada yang berubah dari wajah gue. ‘Kok nggak cantik-cantik, yaa??’, gumam gue dalam hati. Bukannya tambah cantik yang ada timbul jerawat gara-gara salah beli facial foam. Kan kamfret…

Setelah gue selesai mandi, gue teriak nyuruh mereka mandi. Tapi malah kucing yang ngerespon. Gue keluar. Ternyata mereka berdua sedang mengusir roh-roh jahat anak kucing yang baru lahir. Anak kucing akibat dari pergaulan bebas ibunya. Kasihan sekali anak kucing itu tidak mempunyai bapak. 

Anak kucing itu berwarna putih merata diseluruh tubuhnya. Corak hitam seperti awan kecil berada disebelah telinga kanan dan kiri, juga percikan warna hitam berada ditubuh bagian tengah. Suara anak kucing itu lebih menyeramkan dari induknya. Suaranya kecil, melengking, dan menjijikkan. Keluarga kami tidak suka kucing tersebut karena tidak seperti kucing kami: Fitri Bersaudara (Fitri, Fitriano, Fitriani) yang unyu dan imut. Anak kucing itu sembunyi dibalik tumpukan ban sambil terus  mengeong dengan suara yang melengkin dan keras. 

‘Ehh, lu berdua nggak mandi-mandi kenape??’, tanya gue setengah kesal. 

‘Itu lho, kak, ada anak kucing yang menjijikkan. Tuh dibelakang ban-ban.’, jelas Sevi. 

‘Ohh, lhatrus apa hubungannya sama kalian?’

‘Ntar kalo kucingnya masuk gimana?? Ternyata kucingnya laper trus lihat kelinciku makan wortel, trus kucingnya ngrebut tuh wortel. Kan kasihan ibuku, kak, udah capek-capek beli wortel dipasar eh malah dimakan sama kucing garong sialan itu.’

‘Yaelah, ntar gue nanem wortel dibelakang rumah. Ribet amat lu dah.. yaudah sini gue bantuin ngusir kucingnya. Eh, Nuri lu jaga dari situ, gue kagetin tuh kucing dari sini.’

‘Meong… meongg.. meeeeeeooooooooonnnngggggg……… hussss hussssss sanaaaaaaa…!!!!’

Kami pun berlomba mengusir kucing garong itu. Si kucing berhasil keluar dari persembunyiannya tapi malah lari kearah rumah. Tapi gue sigap, gue langsung berlari dan mengusirnya kearah luar. Dan kami pun berhasil. Kami berkumpul, kemudian saling menumpuk tangan sambil berkata, ‘J, Joyfull.. K, Kawaii.. T, Try To The Best.. JKT48 yeeeeeehhhhh….’. kami menjadi member JKT48 dalam sekejap.

Setelah kami berhasil mengusir kucing itu, gue mencoba nyuruh mereka mandi lagi. Sevi udah bersiap mandi. Gue pesenin sama dia buat ngebersihin tuh make up pake sabun sampe bersih. Setelah dia mandi, ternyata make up-nya masih belum bersih. Gue suruh dia ngebersihin sekali lagi. Ternyata masih belum bersih. Setelah dia ganti pakaian, gue membantu dia membersihkan make up yang ada didahinya. Bersih seketika. Tapi dihidungnya masih ada bedak yang tertinggal. Gue bersihin lagi tapi dia kagak mau. Gue bilangin dia kalo sholat masih dengan make up itu gaboleh. Tapi dia menyangkal.

Lalu gue nyuruh Nuri buat mandi, tapi dia tidak mau mandi. Entah dia sudah mandi dirumah belakang atau belum gue tidak tahu. Yang pasti gue tanya dia berulang-ulang, dia tidak menjawabnya. Akhirnya dia tidak mandi.

Azan maghrib pun terdengar. Gue  mengambil wudhu dan sholat. Setelah sholat pun gue ingatkan mereka untuk sholat. Nuri sudah sholat. Tapi Sevi belum, gue nyuruh dia ngebersihin make up-nya dulu sampai bersih. Tapi dia ngotot tidak mau. Padahal gue udah nyuruh dia dengan nada yang halus. 

Gue masih sabar. Akhirnya gue ambil kapas trus nuangin pembersih gue kekapas itu, gue tempelin kapasnya dipipinya Sevi. Terlihat bedak tebal masih menempel dipermukaan wajahnya. Lalu dia marah. Dia bilang tidak mau dibersihkan dengan pembersih gue. Tapi gue kesal, gue dengan nada kasar harus ngebersihin bedak dia, karena kalo sholat tidak sah. Tapi dia semakin ngebantah. Seketika itu gue langsung sakit hati.

Gue nangis karena anak kecil. Gue merasa gue belum bisa menjadi kakak yang baik buat mereka. 
Gue sudah berusaha menjadi kakak yang baik buat mereka. Tapi tidak semudah itu. Mungkin mereka membenci gue. Mungkin gue terlalu galak bagi mereka. Mungkin gue terlalu jelek bagi mereka. Gue tidak pernah tau isi pikiran mereka.

Gue cuma pengen mereka menjadi lebih baik dari gue, lebih baik segala-galanya dari gue.

Belum bisa menjadi kakak yang baik





Malem ini, untuk kesekian kalinya gue menangis gara-gara anak kecil. Tidak lain dan tidak bukan adalah adik-adik gue sendiri. 

Setiap kali waktunya makan gue selalu ingetin mereka, gue selalu tanya mereka apakah sudah makan atau belum. Setiap kali waktunya sholat dan mandi, gue juga terus mengingatkan mereka. Sholat adalah kewajiban setiap umat Islam. Sedangkan makan dan mandi adalah kebutuhan primer manusia. Tapi, setiap kali gue mengingatkan mereka untuk semua itu, pasti gue dibantah. Entah mereka enggan melakukan hal tersebut atau karena mereka benci gue jadi mereka tidak melakukan apa yang gue suruh. 

Gue selalu mereka mengingatkan mereka dengan nada yang halus. Gue tanya mereka baik-baik. Tapi mereka tidak menjawab. Salah satu adik gue selalu nyuekin gue. Entah karena pertanyaan gue tidak penting atau karena telinganya tersumbat tempong, gue tidak tahu itu. Mengingatkan mereka dengan nada yang halus ternyata tidak ada respon. Kesabaran gue diuji mereka. Bahkan, pertanyaan gue ulang-ulang terus sampai mereka mau menjawab, dengan nada yang halus tentunya. Setelah kesabaran gue memuncak, gue mulai dengan nada yang kasar. Tapi mereka malah membantah dengan nada yang lebih kasar dari gue. Seketika itu gue langsung sakit hati. Gue merasa menjadi kakak yang jahat dimata mereka.

Ketika mereka tidak menjawab, mengenyahkan pertanyaan, dan suruhan gue, terkadang gue sedih dan merasa sakit didalam. Kadang-kadang didalam hati gue bergumam, ‘Kenapa sih suruhan gue gapernah mereka lakukan? Padahal itukan kewajiban dan kebutuhan mereka. Gue seperti belum menjadi kakak yang baik buat mereka semua. Padahal gue udah berusaha menjadi kakak yang terbaik. Apa mereka sangat membenci gue sampai mereka mengenyahkan suruhan gue? Atau karena gue galak? Yaa gimana gak galak, diomongin halus gaada respon, diomongin kasar juga gaada respon. Terus masa gue harus tendang trus pecutin mereka gitu?? Kan gamungkin’ . Kurang lebuh seperti itu. Tapi kalimat yang terakhir bohongan kok. Beneran itu hanya fiktif belaka.

Gue tidak pernah tau apa yang ada dipikiran mereka ketika gue mengingatkan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup mereka. Mereka sudah besar, adik gue paling besar umur 12 tahun, adik gue yang kecil umur 4 tahun, keponakan gue gatau umurnya tapi dia kelas 3 SD. Sudah mengerti yang baik dan yang buruk. Terkadang adik gue yang kecil gue iming-imingin jajanan supaya dia mau ngaji. Adik gue yang besar gue beliin makanan yang enak biar dia mau makan. Keponakan gue lebih baik dari adik gue, tapi tadi dia baru aja nyakitin hati gue. 

Gue hanya ingin menjadi kakak yang terbaik buat mereka semua. Gue pengen mereka lebih baik dari gue, lebih pintar dari gue, lebih sukses dari gue, lebih segala-galanya dari gue. Udah itu aja.

21 April 2016

Cinta Tak Terbalas



            Semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta diam-diam. Baik itu hanya sekedar mengagumi ataupun jatuh cinta beneran sampai memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Perasaan itu pernah gue rasakan ketika gue masih SD. Jadi semacam cinta monyet gitu. 

Gue suka sama cowo yang selama enam tahun itu sekelas sama gue. Dia orangnya cakep, badannya gempal, rambutnya lurus belah tengah, berponi miring kekanan, pipinya cabi, dan matanya bulat jernih. Dia salah satu murid terpintar dikelas gue, makanya gue suka sama dia. Namanya Dewa. Gue suka sama Dewa semenjak gue kelas 5. Dua tahun memendam rasa itu tanpa tahu Dewa punya pengagum rahasia dikelasnya. Kami saling berteman baik waktu itu.

Memasuki kelas enam, perasaan gue semakin menjadi-jadi. Sayangnya hanya waktu istirahat saja gue bisa memandang lama wajah manisnya itu. Soalnya gue duduk didepan sedangkan Dewa duduk dibelakang. Pada hari valentine tahun 2010, teman-teman gue pada dikasih kado dan cokelat dari pacar ato gebetannya. Hari itu juga, jam istirahat, gue diam-diam memasukkan cokelat Silver Queen kedalam tasnya Dewa. Hal ini udah gue rencanain beberapa hari yang lalu. Tanpa sepengetahuan orang lain, gue berhasil memasukkan cokelat kedalam tasnya Dewa. Entah apa yang terjadi dengan cokelat itu gue tidak tahu, soalnya gue tidak menyertakan surat didalamnya. Gue hanya ingin Dewa tahu kalo ada temen dia yang diam-diam suka sama dia. 

Kelulusan pun tiba, sampai hari itu gue masih menyukai Dewa. Kami pun melanjutkan pendidikan masing-masing dan kami masuk ke SMP yang sama tapi sayangnya beda kelas. Dewa berada dikelas Bilingual dan gue berada dikelas regular. Perasaan gue perlahan lenyap seiring dengan gue mengagumi temen sekelas gue di SMP. Tapi gue tidak akan pernah melupakan bagaimana gue berusaha memberikan sesuatu kepada orang yang gue kagumi. Meskipun hanya sebatang cokelat, tapi itu sangat berarti buat gue.

Lain lagi kisah cinta gue di SMP. Sahabat gue sejak SD, Ninda, akhirnya sekelas lagi sama gue. Bahagia bercampur haru ketika melihat nama kami berada dikelas yang sama: kelas 7G. Gue orangnya mudah bergaul, jadi tidak butuh waktu yang lama buat gue tahu semua nama teman-teman sekelas gue. Seperti biasa, gue, selalu duduk didepan, tapi kali ini gue duduk dibangku nomor dua. Bangku pertama udah diisi sama dua cowo cakep. Awalnya kami tidak saling mengenal, tapi akhirnya kami menjadi semakin dekat karena kami selalu satu kelompok dalam mengerjakan tugas. 

Dua cowo cakep itu adalah Ikhsan dan Fahmi. Ikhsan orangnya gokil, kulitnya putih bersih, wajahnya mulus, rambutnya ikal, pinter, humoris, dan orangnya ganteng. Sedangkan fahmi anaknya juga pinter, rambutnya cepak, kulitnya agak gelap dibanding Ikhsan, tapi orangnya manis.

Dan orang yang berhasil menarik perhatian gue adalah Ikhsan. Gue suka sama dia. Suka banget malah. Entah racun apa yang bisa membuat gue tergila-gila sama dia. Setiap berangkat sekolah, gue dateng pagi-pagi banget biar dapet bangku dibelakangnya Ikhsan. Dikelas gue, murid yang berangkat duluan berhak duduk dibangku mana saja yang dia mau. Makanya gue berangkat pagi banget dan gue booking tuh dua bangku.

Sejak SD, gue sering dipanggil dengan nama panggilan Silpong. Jadi ketika masuk SMP nama itu masih eksis karena teman-teman gue banyak yang satu sekolah sama gue. Ikhsan dengan logatnya yang khas manggil gue dengan nama itu setiap hari. Setiap jam pelajaran gue memandangi tengkuknya yang indah, rambutnya yang ikal, dan punggunggnya yang mempesona. Kelas tujuh SMP adalah masa-masa bahagia gue bersama Ikhsan. Pernah suatu hari ketika kelas kami ada pelajaran IPS yang mengharuskan kami untuk pergi ke laboratorium untuk menggunakan pembelajaran dengan proyektor. Karena waktu itu kelas yang ada proyektornya hanya kelas Bilingual saja. 

Ditengah pembelajaran, ketika Pak Rofiq (guru mapel IPS gue) sedang keluar, Ikhsan menghampiri meja gue yang ada didepan. ‘Heh, Pong..’, sapa Ikhsan. ‘Ya, ada apa?’, tanya gue. ‘Ikut gue ke kamar mandi, yuk’. Gue diam sebentar, bertatapan dengan Ninda, lalu kami tertawa lepas, ‘Hahahahaha… Apaan sih, San?’. ‘Hhmm.. Kalo gamau yaudah’, Ikhsan dengan tampang polos pergi berlalu meninggalkan gue dan Ninda. Kami pun kembali tertawa kecil sambil keheranan dengan sikap Ikhsan yang seperti itu. 

Setiap pulang sekolah pasti gue selalu bertemu dengan Ikhsan. Gue pulang jalan kaki bersama teman-teman gue yang jalannya searah. Ikhsan menunggu kakak kelas yang nebengin dia waktu masih kelas satu. Maklum aja, kelas satu SMP kami masih polos, tidak berani memakai motor kalau berangkat sekolah. Kalau pun ada, mungkin hanya beberapa saja, dan dia yang sudah diijinkan oleh orang tuanya. 

Rumahnya Ikhsan agak jauh dari sekolah, kurang lebih 5 km. Sepulang sekolah pasti dia menunggu kakak kelas diparkiran depan sekolah dan gue lewat bersama teman-teman gue. Terkadang gue suka ngejek dia dengan menyebut nama asal daerahnya. Dia pun membalas dengan nama asal daerah gue. Setiap kali kami berpapasan, pasti dia gue pandang dari ujung ke ujung. Memandangnya adalah kebahagiaan gue waktu itu.

Gue pernah dapet nomor hapenya dari temen. Sempat smsan juga, tapi hanya sebentar. Kata temen gue itu nomor Bokapnya. Ketika gue smsan sama dia, gue bahagia banget. Jingkrak-jingkrak gak keruan. Pas sms gue dibales, gue sempat beli trampoline terus gue loncat-loncat sampai gue mental ke Kutub Utara. Akhirnya gue nyasar dan ketemu Masha and The Bear. Tapi ternyata itu hanya mimpi. Gue malah pernah smsan sama Bokapnya akhirnya kami jadian. Terus gue sempat dinner sama Bokapnya. Ehh, kalimat tadi cuma bohong kok. Cuma bercanda kok. Seriusan tadi cuma bercanda.

Satu semester gue lalui bersama Ikhsan. Gue sering curhat ke Ninda kalau gue suka sama Ikhsan. Tapi yaa namanya juga masih polos-polosnya, kami tidak tahu harus berbuat apa. Ujian Semester 1 sudah dimulai. Gue pisah ruangan dengan Ikhsan. Tapi setidaknya kami masih bisa bertemu ketika pulang sekolah. Dulu gue orangnya cukup aktif dikelas, begitupun dengan Ikhsan dan Fahmi. Terkadang kami saling berlomba-lomba bertanya kepada guru. Tapi ketika nilai ujian dibagikan, ternyata Ikhsan lebih pintar dari yang gue bayangkan. Nilainya lebih tinggi daripada gue. Gue pun tidak mau kalah sama dia. Orang pintar kan biasanya mencari jodoh yang lebih pintar dari dia. Gue mau terlihat luar biasa dimata orang yang gue sukai. 
 
Semester dua pun dimulai. Gue mulai belajar keras. Berusaha menunjukkan yang terbaik kepada Ikhsan. Kami masih sering ngobrol bareng. Semester dua juga dibarengi dengan les computer disekolah gue. Di ruangan computer pun kami masih bercanda tawa. Sikap Ikhsan yang humoris dan membuat kejahilan dengan teman-temannya semakin membuat gue tertarik dengan dia. Dengan adanya les computer itu berarti kami pulangnya sore. Les dibuka jam 2 siang dan berakhir jam 4 sore. Sepulang les computer, Ikhsan menunggu jemputan orang tuanya, karena kakak kelas yang bisa nebengin dia pasti udah pulang duluan. Gue sendiri pulang jalan kaki dan bertemu Ikhsan di Ruko depan SMP. Kami saling bertegur sapa. Dan gue bahagia banget bisa kenal sama dia. 

Ujian semester dua pun dimulai. Gue sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Gue belajar keras biar gue bisa mengimbangi Ikhsan dikelas dua dan akhirnya Ikhsan juga suka sama gue.

Tapi hasil ujian gue tidak sebanding dengan harapan gue yang sekelas sama Ikhsan saat kelas dua nanti, hasil ujian gue cukup memuaskan, rangking gue naik, tapi masih tetap rangking Ikhsan lebih tinggi daripada gue. Kenaikan kelas dua ternyata kelasnya diacak. Alasan guru mengacak kami adalah untuk  menambah teman. Tapi tidak semudah itu karena satu tahun bersama teman-teman sekelas sudah menjadi kekuatan untuk kelas kami. Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Mengenal kepribadian setiap murid dan sudah terbangun rasa toleransi diantara kami. Dengan pindahnya kami dikelas yang tidak kami inginkan, berarti kami harus beradaptasi dengan teman-teman yang baru yang belum tentu sesuai dengan yang kami inginkan. Sempat ada pertentangan akibat peristiwa tersebut. Tapi keputusan guru tidak dapat diganggu gugat. 

Kami pun berpisah. Gue berada dikelas 8C, Ninda dikelas 8H, dan Ikhsan dikelas 8G. Jarak kelas kami pun cukup berjauhan. Kelas 8A masih tetap dikelas Bilingual, sampingnya kelas 8B dan 8C, kelas 8D didepan kelas 8C, sedangkan kelas 8E, F, G, H berada disatu blok yang bersebelahan dengan kelas 8C. Setidaknya gue bisa melihat kelas 8G dari jendela meski hanya jam istirahat. Dikelas 8C, gue bertemu teman-teman baru. Gue satu bangku denga Zahra, murid terpintar dikelas gue. Gue belajar banyak dari Zahra. Masa-masa kelas 8 gue adalah masa terpintar gue. Karena gue sering diajari Zahra tentang pelajaran dan kebaikan. Tetapi masa-masa kelas 8 juga masa yang buruk buat gue karena gue jarang bertemu Ikhsan. 

Semenjak kelas 8, gue udah tidak tahan sama perasaan gue. Jarak antara gue dan Iksan semakin renggang. Gue punya cara tersendiri buat Ikhsan peka, biar tahu kalau gue suka sama dia. Temen gue yang sekelas sama Ikhsan banyak. Gue pernah kirim salam buat Ikhsan melalui temen gue, Amel. ‘Mel, titip salam yaa buat Ikhsan’, kata gue. ‘Ohh, iya iya ntar gue sampein kok’, jawab Amel. Amel adalah sahabat  gue juga sejak SMP karena kami tetetangga dan kami sering pulang bareng. Dia juga udah tau kalo gue suka sama Ikhsan.

Tidak hanya Amel yang gue titipin salam, tapi banyak teman-teman yang lain juga. Sepertinya Ikhsan sudah tahu kalau gue suka sama dia. Sikap Ikhsan kegue semakin dingin. Dia pura-pura tidak tahu kalo gue suka sama dia. Mungkin dia benci sama gue gara-gara gue sering titip salam keteman-teman gue buat dia. 

Kami saling menjauh. Gue seperti orang asing dimata dia. Tapi Tuhan masih baik kepada gue. Mata gue masih diijinkan untuk melihat ciptaan-Nya itu. Semenjak kelas 8, Ikhsan sudah memakai motor kesekolah. Sebuah motor khasnya, motor mio warna biru muda dan helm dengan warna yang senada, juga jaket hitam dengan aksen abu-abu cirri khasnya. Jadi, tiap pulang sekolah gue masih sempet lihat dia pulang pake motornya itu. Setiap kali gue berangkat pagi, pasti gue lihat kearah parkirannya Ikhsan, terus gue lihat motornya udah ada apa nggak. Kalau udah ada berarti dia udah berangkat. Menurut pengintaian gue, ternyata dia sering berangkat pagi.

Selama dikelas 8, bukannya gue udah melupakan Ikhsan tapi gue tambah sayang sama dia. Gue berusaha keras untuk terlihat mengagumkan dimata dia. Tapi tetap saja sikapnya semakin dingin kegue. Apakah dia benar-benar membenci gue? Atau dia sudah punya cewe lain yang dia sukai? Atau dia memang tidak suka gue dan menghindari gue? 

Gue tidak pernah tau jawaban atas semua pertanyaan itu. Gue tidak tahu isi pikiran Ikhsan. Gue tidak tahu dia suka gue atau tidak. Dan tidak akan pernah tahu itu. 


Kalau pun waktu itu gue berani nyatain perasaan gue kedia pasti harga diri gue jatuh. Karena pada waktu itu cewe nembak cowo itu dianggap sesuatu yang tabu. Selain itu, kemungkinan besar cinta gue ditolak sama dia. Gue hanya bisa mengubur perasaan ini dalam-dalam. 

Dikelas 8 juga gue sering minjem buku atau novel dari perpus karena jaraknya yang dekat. Kebetulan itu selalu datang tiba-tiba. Ketika gue selesai meminjam buku, gue keluar dari perpustakaan. Mengambil sepatu dan duduk dibangku depan perpus. Saat gue membenarkan tali sepatu, malaikat gue datang dengan anggun. Gue menunduk mengikat tali sepatu, tapi gue tahu kalau itu Ikhsan. Gue bangun. Entah makhluk apa yang merasuk kedalam tubuh gue waktu itu, tiba-tiba gue memanggil namanya. Pelan tapi pasti, ‘Ikhsan..’. Dia berhenti dengan langkah kaki kiri didepan dan kaki kanan dibelakang. Dia menengok kebelakang. Dia memandang kearah gue. Mata kami saling bertemu. Dia memberi isyarat dengan kepalanya seperti  mengatakan, ‘Ada apa? Kok manggil gue?’. Tapi gue hanya diam seribu bahasa. Seketika itu dunia seperti berhenti. Gue merasa berada di FTV, dimana ketika seorang cewe memanggil cowo yang disukainya selama bertahun-tahun dan cowo itu merespon dengan menatap matanya secara langsung. Kemudian mereka semakin akrab dan ternyata cowonya juga suka sama cewe itu, lalu mereka jadian. Akhirnya mereka menikah dan mempunyai dua anak: bahagia selamanya. Oke khayalan yang terlalu tinggi buat gue. 

Kami saling bertatapan, angin berhembus memeriahkan suasana. Rambut ikalnya yang sedikit panjang, bentuk tubuhnya yang tidak berubah, matanya menatap kemata gue. Gue jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Selang beberapa detik dia berbalik dan berjalan lagi karena merasa tidak ada respon dari gue. 

Setelah kejadian itu, gue senyum-senyum sendiri. Bahagia banget. Dunia seperti berpihak kepada gue. Kebetulan itu teramat sangat membuat gue yakin kalo Ikhsan tidak membenci gue. Mungkin dia mau focus dengan sekolahnya dulu.  Sehingga waktu dia tahu kalo gue suka sama dia, dia ngejauhin gue.

Peristiwa bersejarah itu masih gue ingat dan tidak akan pernah gue lupakan. Perpustakaaan menjadi saksi bisu, beberapa lukisan yang tertempel dimading juga melihat peristiwa itu, dan sorot matanya akan terus gue kenang sampai kapan pun.

Waktu begitu cepat berlalu. Kami menjalani kehidupan masing-masing. Beberapa kali gue sms nomornya tapi tidak ada balasan sama sekali. Disela-sela kehidupan yang gue jalani, gue masih sempat memikirkan dan merindukan sosok yang membuat gue kecanduan untuk terus mencintainya. Oh iya, pernah suatu hari ketika gue masih dekat dengan Ikhsan, gue bertanya tentang akun Facebooknya. Tapi dia bilang kalo dia bilang tidak mempunyai akun Facebook. Beberapa kali gue mencari akunnya diFacebook, dari nama panggilan sampai nama lengkap udah gue coba, tapi tetap saja gue tidak menemukan akun Facebooknya. Ikhsan orangnya memang tidak terlalu peduli dengan sosmed yang seperti itu. Di Facebook banyak orang alay dan Ikhsan bukan orang alay. Pada waktu itu adalah tenarnya Facebook dikalangan remaja. Tidak seperti sekarang, dulu satu orang hanya mempunyai satu akun sosmed: Facebook. Sekarang satu orang mempunyai lebih dari 5 akun sosmed: Facebook, Twitter, BBM (Blackberry Messenger), Line, Whats App, Ask FM, Path, Instagram, G+, dan teman-temannya. Termasuk gue salah satunya. 

Kami pun naik kekelas 9. Kelas pun diacak kembali. Gue berada dikelas 9D dan Ikhsan dikelas 9C. Ya, kelas kami berdampingan tapi kami jarang bertemu. Dikelas 9, Ikhsan lebih mengurung diri, gue pun begitu. Ke kantin pun gue jarang ketemu sama Ikhsan. Tapi beberapa kali kami tidak sengaja berpapasan. Sama seperti kelas 8, gue masih sempat melihatnya ketika pulang sekolah. 

Kelas 9 adalah masa-masa tersibuk kami. Ujian Nasional akan kami tempuh. Berbagai ujian praktik yang cukup menguras tenaga pun kami lakukan. Tak terkecuali ujian praktik seni tari. Kami semua dibagi dalam beberapa kelompok untuk menampilkan performance yang terbaik. Ikhsan, juga ikut berpartisipasi dalam ujian praktik ini. Tapi sayang, ketika Ikhsan perform, gue tidak sempat melihatnya menari diatas panggung. Karena waktu itu gue juga sedang mempersiapkan dance kelompok gue. Kata temen gue yang nonton, gerakan Ikhsan cukup energik dan Ikhsan membawakannya dengan baik. Senang kalo mendengar kabar seperti itu.

Masa putih-biru adalah masa-masa terindah gue. Selama tiga tahun itu gue belajar banyak. Seperti layaknya sekolah-sekolah kota lainnya. Disekolah kami sering diadakan event. Entah itu event pameran, karnaval, ataupun event ekskul dan tidak lupa dies nata lies.

Setiap tiga tahun sekali, sekolah kami merayakan ulang tahun dengan meriah. Seperti mengadakan perayaan ulang tahun dengan mengundang band alumni dan juga lomba-lomba yang menarik. Sekitar bulan Oktober, sekolah kami berulang tahun yang ke-32 tahun. Waktu itu pertengahan kelas 8. Gue dan teman-teman datang dengan gembira. Melihat keramaian orang berjoget ria mendengarkan alunan music yang riang. Ditengah keramaian seperti ini, gue masih sempat mencari-cari sosok pujaan hati gue. Berharap kami saling bertegur sapa dan bercanda tawa seperti dulu. Kenyataan selalu tidak seindah dengan harapan yang gue bayangkan. Gue hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dia semakin tampak dewasa menggunakan baju bebas seperti itu. Menikmati keindahan Tuhan dari jauh sudah membuat gue bahagia.

Berbagai macam event sudah kami  lewati bersama. Tibalah saat kelulusan. Bertempat di lapangan basket dengan tema hitam putih, kami saling mengucapkan sayonara. Gue melihat Ikhsan dengan kesedihan dalam hati. Kemeja putih dan celana hitamnya semakin membuatnya tampak dewasa. Gue belum siap mengucapakan perpisahan dengan dia. Masih terlalu dini untuk mengatakan satu kata itu.

Kami pun berpisah. Gue masuk SMA yang masih satu daerah dengan SMP gue. Sedangkan Ikhsan masuk ke SMK dipusat Kota Jepara. Sampai sekarang gue tidak tahu keadaan dia seperti apa. Mencari akun Facebook dan Twitter dengan namanya pun tidak kunjung ketemu. Sudah hampir tiga tahun semenjak perpisahan kami. Setiap gue ke pantai melewati rumahnya, gue berharap kebetulan itu datang. Gue berharap bisa bertemu dengan dia meskipun hanya sekilas. Tapi takdir berkata lain. Kami masih tidak diijinkan Tuhan untuk bertemu kembali.

Andaikan Tuhan mengijinkan kami untuk bertemu, pasti gue akan jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya. Bagi gue, Ikhsan adalah cinta pertama gue. Kalau Dewa tidak termasuk cinta gue, karena gue hanya sebatas mengagumi saja dan Dewa tidak tahu tentang itu. Sedangkan Ikhsan, 3 tahun gue memendam perasaan yang menyakitkan itu. Tapi Ikhsan sudah tahu kalau gue suka sama dia. Kalau gue bertemu lagi dengan Ikhsan, gue akan minta kontak dia, ngajak ketemuan dia, gue bilang perasaan gue selama tiga tahun itu, ditolak apa tidak terserah dia yang penting gue udah nyatain perasaan gue kedia. Sampai sekarang Ikhsan tetap menjadi cinta pertama sekaligus cinta tak terbalas gue. Karena cinta, gue pernah berusaha menjadi yang terbaik. Cinta sudah membuat gue berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Walangan Story



            Bel pulang sekolah berbunyi, para murid bersiap meninggalkan sekolah dan menuju rumah masing-masing. Matahari bersinar terang siang itu, ruang kelas terasa panas dengan suhu yang cukup tinggi yang membuat murid-murid kegerahan saat pelajaran berlangsung. Sebelum pulang, gue, Keyha, dan Rona sedang membicarakan rencana praktik tugas sekolah kami besok pagi.
            “Eh, Na, gimana?? Gue jadi ikut kan?” , tanya Shesil kepada Rona sambil berkipas.
            “Iya, Sil, jadi kok. Ntar kamu tak jemput yaa, jangan lupa ntar tanyain mama kamu buat bahan-bahannya.” , jawab Rona sambil membereskan beberapa buku.
            “Key, dapur lo luas kan? Ada kursinya kan? Gue bisa leluasa nggak disana?”
            “Tenang aja, Shesil. Udah gue siapin semua kok.”, jawab Keyha sibuk memainkan smartphone.
            “Yaudah pulang aja yuk. Gue udah capek banget nih, pengen tidur siang. Ayo, Sil, gue anter kedepan sekarang. Sms mama kamu dulu gih.”
            “Iya, Na. Bawain tas gue loh. Lo pulang sama Keyha kan??”
            “Iya, Shesilkuh sayaaangg…”
            “Hahahaha… apaan sih… lebay lu!!”

            Gue pun pulang masih dengan kaki yang sakit dan dengan dua tongkat yang udah bosen gue pake.
* * *
            Keesokan harinya, tepatnya hari minggu. Gue udah bersiap didepan rumah. Udah mandi, udah pake baju baru, pake deodorant, pake hand and body lotion, pake minyak wangi, dan tak lupa udah cream bath dari salon semalem. Hahaha apaan lebay banget gue. Padahal mo buat walangan kek mo kondangan aja.
Oke lanjut..
            Rona datang dengan ekspresi yang sulit dimengerti.
            “Maa, bahan-bahannya udah kan??”, tanya gue ke nyokap.
            “Udah, tuh didepan kamu.”
            “Oh ya nding.”, gue ambil kantong kresek merah besar didepan gue.
            “Ohh, ini lho, Na. Ketela pohon sama gula.”
            “Kok banyak banget yaa, Sil.”
            “Iya, mama itu beli 2kg ketela. Jadi ntar kamu kupas ketelanya, cuci, parut, cuci lagi, trus kamu goreng dalam minyak panas. Pas setengah mateng, ntar kamu masukin gula cairnya sedikit demi sedikit, sambil terus diaduk. Jangan lupa dicetak pas panas.”, terang mama.
            “Gitu yaa, ma? Jadi pas digoreng gitu dikasih gula cair?”
            “Iyalah…”
Rona tertawa kecil sambil melihat bahan-bahan dalam plastic.
“Lu kenapa, Na? Kok nyengir-nyengir gitu??”
“Wkwkwk… kagak kenapa-kenapa kok.”
“Yaudah sekarang aja yuk, Na. Jangan lupa bahannya.”
“Yaudah ayo, Sil. Pelan-pelan jalannya.”
“Oke, Na.” , gue berjalan menuju motornya Rona.
“Udah siap belom?”
“Udah kok, ayo jalan sekarang.”

Gue dan Rona on the way ke rumahnya Keyha. Disepanjang perjalanan, gue nggak henti-hentinya bawel. Ah ngomong hati-hatilah, ngomong-ngomong sendiri nenangin diri. Wajar aja gue bawel, jalanan pagi itu rame banget, gue khawatir kalo kaki gue kenapa-kenapa.
Sesampainya dirumah Keyha, gue dan Rona disambut tari saman sama keluarganya. Tak lupa rebana dan sesajen ikut memeriahkan suasana. Hahaha ya kagak gitu juga kalii.
Gue lewat pintu belakang yang lebih dekat dengan dapur. Gue duduk dikursi, tapi akhirnya duduk dibawah. Kami mulai mengupas ketela, membuang kulitnya, terlihat putihnya, dan kami rendam dalam air. Satu persatu ketela berhasil kami kupas. Setelah itu kami parut dengan parutan gobet. Tau parutan gobet nggak?? Parutan gobet itu seperti parutan keju tapi ukurannya lebih besar.
Gue dan Rona berlomba memarut ketela.
“Marutnya yang panjang-panjang, dong, Na.. Kaya gue nih..”
“Hehehe iya iya..”
“Tuhkaan.. masih panjangan punya gue…”, gue menunjukkan hasil karya gue.
“Heemmm… yadeh, Sil.”, cuek Rona.
Kami pun mulai melanjutkan perlombaan memarut ketela terpanjang.

Kami memakai dua parutan sekaligus, gue dan Rona memarut dengat teliti. Setiap detail ketela kami parut, setiap incinya tidak kami lewatkan. Sedangkan Keyha disuruh beli minyak lah, disuruh beli apalah. Tapi ditengah keseruan memarut ketela, jarinya Rona kena mata pisau parutnya dan menimbulkan setetes darah keluar dari jarinya yang mulus itu. Akhirnya 2kg parutan ketela berhasil memenuhi 2 baskom.
“Udah kan, Na? Cuci gih diair yang mengalir. Tapi jangan diremas-remas, ntar hancur semua.”
“Iya, Shesil…”
“Keyha, kamu panasin gula merahnya. Apinya kecil ya.”
“Pake panci yang mana eg?”, mencari panci dirak.
“Yang kecil itu lho. Iya yang itu.”, gue menunjuk panci kecil.
Gue sok ngatur. Sedangkan mereka sibuk dengan kegiatan mereka. Gue asyik selfie. Senyum-senyum sok imut sambil bergaya. Manis dikit cekrek… cakep dikit cekrek… cantik banyak cekrek cekrek cekrek…… *abaikan!
Setelah semuanya clear. Kami mulai menggoreng ketela. Wajan kami panaskan. Minyak kami masukkan kewajan. Wajan dan minyak bersama-sama menuju satu perasaan, yaitu panas.
Gue berdiri, melihat perkembangan perasaan mereka berdua. Rona bilang kalo minyaknya udah panas, tapi gue bilang minyaknya belom panas. Akhirnya kami berdebat. Gue ngalah. Rona masukkin ketela sedikit demi sedikit. Dan ternyata minyaknya belum panas. Ketelanya lembek. Diaduk-aduk tapi nggak mengembang. Gue curiga.
Ketika Rona asyik mengaduk ketela, tiba-tiba minyaknya muncrat dan numpahin kekaki gue. Minyaknya cukup banyak yang kena kaki gue. Tapi gue nggak merasa panas, anget malahan. Gue teriak, Rona ketawa, Keyha kaget. Suasana pecah seketika.
“Aduhh, Rona… Lu ngaduknya yang bener dong. Kaki gue jadi korban nih..”
“Huahahahah… Kagak sengaja gue. Maaf ya…”
“Gatau ahh, terserah lu ajadeh. Tapi kok kaki gue nggak kepanasan yaa?”
“Tapi kaki lo nggak kenapa-kenapa kan, Sil?”, tanya Keyha.
“Kagak kenapa-kenapa kok. Yaudah aduk-aduk aja terus sampe kuning keemasan. Tapi pelan-pelan ngaduknya. Gue duduk dulu.”
“Wkwkwkwk… Maaf ya, Sil. Gue nggak sengaja kok.”
“Iya iyaa… Hati-hati kalo ngaduk, Na.”
Rona kembali mengaduk ketela. Keyha memperhatikan, gue mengawasi. Selang beberapa menit, gue kembali berdiri dan melihat ketelanya. Sebenarnya tidak begitu kelihatan kuning keemasan. Karena dirasa udah cukup lama mengaduknya, akhirnya kami masukkan gula merah cair sedikit demi sedikit. Tapi… Yang terjadi malah ketelanya nggak mau nyampur sama gulanya. Mereka tidak mau bersatu. Bukannya mendekat tapi malah menjauh. Dramatis.
Kami bertiga berdebat. Mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Akhirnya muncullah suatu gagasan untuk menggoreng ketelanya dalam wajan kecil. Sedikit demi sedikit ketela digoreng dan dicampur dengan gula. Kami mulai mencoba eksperimen tersebut. Keyha mengambil sendok sayur untuk memindahkan minyak goreng dari wajan besar ke wajan kecil. “
“Keyha, pelan-pelan mindahinnya.”, Rona khawatir.
“Kayanya udah cukup deh buat digoreng.”, jelas Keyha memasukkan minyak goreng terakhir.
“Sekalian ketelanya juga. Sedikit aja, Ha.”, ujar Rona.
“Iya, deh.”
Keyha mulai memindahkan ketela sedikit demi sedikit. Rona menyalakan api. Karena terlanjur menggunakan sendok sayur, tanpa sadar Keyha mengaduk ketela menggunakan sendok sayur dalam minyak panas. Tiba-tiba Keyha menjerit. Ternyata…..
“Huuuaaaaaaaaa…….”, suara Keyha menggelegar.
“Hahh?? Lu kenapa, Ha??”, tanya Rona.
“Ini sendok sayurnya meleleh….”, Keyha dengan ekspresi tidak percaya.
“Sumpeh lo??”, tanya gue dengan ekspresi bego.
“Hahh?? Beneran kagak??”, Rona telat menanggapi.
Semuanya panic.
“Huahahahaha… Sendok sayurnya kalah sama minyak panas. Meleleh kaya hati gue.”
Kita bertiga tertawa lepas melihat sendok sayur yang meleleh karena panasnya minyak.
“Huahahahah………. Ahahahhaahahaa……”
“Yaelah.. Gimana dong? Ntar dimarahin mama lo lagi. Yahh, elo sih, Na, nyuruh ngaduk-ngaduk ketela pake sendok sayurnya. Udah tau dari plastic juga.”, Shesil khawatir
“Yaelah… Namanya juga udah terlanjur, kagak sadar juga si Keyha ngaduk-ngaduknya.”
“Yaudah gapapa kok, pasti nyokap ngertiin. Lagian dipasar masih banyak sendok sayur.”
“Maaf ya, Ha.”, ujar Shesil.
“Iya, maafin kita ya, Ha.”

Kita berdua merasa bersalah. Keyha mengganti sendok sayur dengan sepatu la yang terbuat dari stain less stil. Rona mulai menggoreng ketela. Ketika sudah terlihat kuning keemasan, Keyha memasukkan gula cair sedikit demi sedikit. Sedangkan gue sibuk mengawasi gerak gerik mereka. Saat dirasa udah matang, walangan kloter pertama pun berhasil kami angkat. Gue udah duduk dibawah dengan beberapa tutup toples dan plastic untuk mencetak walangan.
Walangan pertama berhasil gue cetak dengan tangan gue yang tahan terhadap panas. (Tangan gue strong!!)
            Produk pertama melegakan hati kami untuk terus menggunakan cara ini. Ketika Rona menggoreng walangan yang kedua, terjadilah ketidaksesuaian tekstur walangan pertama dengan walangan kedua. Walangan kedua cenderung lembek. Setelah itu muncullah ide dari otak gue untuk menggorengnya agak lama sedikit, lalu baru dimasukkan gula cairnya. Tapi yang terjadi malah ketelanya terlanjur matang dan gulanya nggak mau nyampur sama ketelanya. Gulanya lebih memilih menyatu dengan minyaknya, akhirnya si minyak menjadi cokelat karena ulah si gula. Gue menyesal.
            Produk kedua gagal karena gulanya menjadi pahit. Produk ketiga gosong karena terlalu lama menggoreng. Rona menyarankan untuk mengganti minyaknya dengan minyak yang masih jernih.
            “Keyha, ambilin saringan teh buat nyaring nih minyak biar ketela yang ancur bisa pisah sama minyaknya. Sama mangkok juga.”
            “Iya, Na.”
Keyha mulai mengambil mangkok dan saringan teh. Lalu terjadilah peristiwa yang menegangkan. Rona dan Keyha saling berhadapan, gue berada diposisi disampingnya Keyha. Rona mulai menuangkan minyak, Keyha memegangi saringan teh. Keyha kembali berteriak. Gue kira gara-gara minyaknya tumpah. Karena pas Rona nuangin minyak kemangkok, minyaknya tumpah. Ternyata bukan itu.
“Huuuuaaaaaaaaaaaa………..”, teriak Keyha sambil teriak.
“Hahhh??? Kenapa, Key??”, tanya gue dengan ekspresi kaget.
“Eehhhh… Ada apa eg??”, Rona melihat minyak yang tertuang dimangkok.
“Hahahahahah……. Iniii…..”, Keyha memperlihatkan saringan teh yang bolong.
“Hahahahahahahahahaha……….”, gue dan Rona tertawa lepas.
Suasana kembali pecah karena tawa kami yang terlalu berlebihan.

Kami bertiga tertawa lepas. Entah karena emang lupa atau emang nggak tau kalo sesuatu yang panas pasti akan melenyapkan yang berbahan plastic. Kami kembali melakukan kesalahan yang membuat nyokap Keyha kehilangan dua benda sekaligus untuk memasak.
“Hahahaha…. Pantesan pas tadi Rona nuangin minyak, tadi kedengeran suara kkrreeeesssss gitu. Ternyata saringannya melelh to. Hahahahah…..”, Shesil sampai meneteskan air mata.
“Hiks. Maafin kita lagi ya, Key. Tadi udah sendok sayur, sekarang saringan teh. Harganya berapa?? Ntar kita ganti deh..”, Rona merasa bersalah.
“Ehh… Gausah. Kagak apa-apa. Lagian nggak sengaja kok. Kitanya aja emang bego kurang hati-hati. Salah gue juga kok.”
Hahahaha….. Yaudah beresin dulu aja gih. Trus lanjut lagi gorengnya, udah siang nih.”
Kami pun membersihkan kekacauan yang kami buat dan kembali melanjutkan kembali tugas kami. Akhirnya produk keempat dan seterusnya mengalami perkembangan yang cukup baik. Hasilnya sesuai yang kita inginkan. Totalnya ada 16 cetakan yang berhasil kami buat. Jika tidak ada kegagalan dalam eksperimen yang kami buat, pasti jumlahnya ada 20 cetakan.
Setidaknya kami bangga dengan produk yang kami buat sendiri. Meski penuh ke-konyol-an dan kekacauan yang kami buat.



- Copyright © Ini Blog Tentang Cerpen - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -