- Back to Home »
- Cinta Tak Terbalas
Posted by : Unknown
Minggu, 24 April 2016
Semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta diam-diam.
Baik itu hanya sekedar mengagumi ataupun jatuh cinta beneran sampai memendam
perasaannya selama bertahun-tahun. Perasaan itu pernah gue rasakan ketika gue
masih SD. Jadi semacam cinta monyet gitu.
Gue
suka sama cowo yang selama enam tahun itu sekelas sama gue. Dia orangnya cakep,
badannya gempal, rambutnya lurus belah tengah, berponi miring kekanan, pipinya
cabi, dan matanya bulat jernih. Dia salah satu murid terpintar dikelas gue,
makanya gue suka sama dia. Namanya Dewa. Gue suka sama Dewa semenjak gue kelas
5. Dua tahun memendam rasa itu tanpa tahu Dewa punya pengagum rahasia
dikelasnya. Kami saling berteman baik waktu itu.
Memasuki
kelas enam, perasaan gue semakin menjadi-jadi. Sayangnya hanya waktu istirahat
saja gue bisa memandang lama wajah manisnya itu. Soalnya gue duduk didepan
sedangkan Dewa duduk dibelakang. Pada hari valentine tahun 2010, teman-teman
gue pada dikasih kado dan cokelat dari pacar ato gebetannya. Hari itu juga, jam
istirahat, gue diam-diam memasukkan cokelat Silver Queen kedalam tasnya Dewa.
Hal ini udah gue rencanain beberapa hari yang lalu. Tanpa sepengetahuan orang
lain, gue berhasil memasukkan cokelat kedalam tasnya Dewa. Entah apa yang
terjadi dengan cokelat itu gue tidak tahu, soalnya gue tidak menyertakan surat
didalamnya. Gue hanya ingin Dewa tahu kalo ada temen dia yang diam-diam suka
sama dia.
Kelulusan
pun tiba, sampai hari itu gue masih menyukai Dewa. Kami pun melanjutkan
pendidikan masing-masing dan kami masuk ke SMP yang sama tapi sayangnya beda
kelas. Dewa berada dikelas Bilingual dan gue berada dikelas regular. Perasaan
gue perlahan lenyap seiring dengan gue mengagumi temen sekelas gue di SMP. Tapi
gue tidak akan pernah melupakan bagaimana gue berusaha memberikan sesuatu
kepada orang yang gue kagumi. Meskipun hanya sebatang cokelat, tapi itu sangat
berarti buat gue.
Lain
lagi kisah cinta gue di SMP. Sahabat gue sejak SD, Ninda, akhirnya sekelas lagi
sama gue. Bahagia bercampur haru ketika melihat nama kami berada dikelas yang
sama: kelas 7G. Gue orangnya mudah bergaul, jadi tidak butuh waktu yang lama
buat gue tahu semua nama teman-teman sekelas gue. Seperti biasa, gue, selalu
duduk didepan, tapi kali ini gue duduk dibangku nomor dua. Bangku pertama udah
diisi sama dua cowo cakep. Awalnya kami tidak saling mengenal, tapi akhirnya
kami menjadi semakin dekat karena kami selalu satu kelompok dalam mengerjakan
tugas.
Dua
cowo cakep itu adalah Ikhsan dan Fahmi. Ikhsan orangnya gokil, kulitnya putih
bersih, wajahnya mulus, rambutnya ikal, pinter, humoris, dan orangnya ganteng.
Sedangkan fahmi anaknya juga pinter, rambutnya cepak, kulitnya agak gelap
dibanding Ikhsan, tapi orangnya manis.
Dan
orang yang berhasil menarik perhatian gue adalah Ikhsan. Gue suka sama dia.
Suka banget malah. Entah racun apa yang bisa membuat gue tergila-gila sama dia.
Setiap berangkat sekolah, gue dateng pagi-pagi banget biar dapet bangku
dibelakangnya Ikhsan. Dikelas gue, murid yang berangkat duluan berhak duduk
dibangku mana saja yang dia mau. Makanya gue berangkat pagi banget dan gue
booking tuh dua bangku.
Sejak
SD, gue sering dipanggil dengan nama panggilan Silpong. Jadi ketika masuk SMP
nama itu masih eksis karena teman-teman gue banyak yang satu sekolah sama gue.
Ikhsan dengan logatnya yang khas manggil gue dengan nama itu setiap hari.
Setiap jam pelajaran gue memandangi tengkuknya yang indah, rambutnya yang ikal,
dan punggunggnya yang mempesona. Kelas tujuh SMP adalah masa-masa bahagia gue
bersama Ikhsan. Pernah suatu hari ketika kelas kami ada pelajaran IPS yang
mengharuskan kami untuk pergi ke laboratorium untuk menggunakan pembelajaran
dengan proyektor. Karena waktu itu kelas yang ada proyektornya hanya kelas
Bilingual saja.
Ditengah
pembelajaran, ketika Pak Rofiq (guru mapel IPS gue) sedang keluar, Ikhsan
menghampiri meja gue yang ada didepan. ‘Heh, Pong..’, sapa Ikhsan. ‘Ya, ada
apa?’, tanya gue. ‘Ikut gue ke kamar mandi, yuk’. Gue diam sebentar, bertatapan
dengan Ninda, lalu kami tertawa lepas, ‘Hahahahaha… Apaan sih, San?’. ‘Hhmm.. Kalo
gamau yaudah’, Ikhsan dengan tampang polos pergi berlalu meninggalkan gue dan
Ninda. Kami pun kembali tertawa kecil sambil keheranan dengan sikap Ikhsan yang
seperti itu.
Setiap
pulang sekolah pasti gue selalu bertemu dengan Ikhsan. Gue pulang jalan kaki
bersama teman-teman gue yang jalannya searah. Ikhsan menunggu kakak kelas yang
nebengin dia waktu masih kelas satu. Maklum aja, kelas satu SMP kami masih
polos, tidak berani memakai motor kalau berangkat sekolah. Kalau pun ada,
mungkin hanya beberapa saja, dan dia yang sudah diijinkan oleh orang tuanya.
Rumahnya
Ikhsan agak jauh dari sekolah, kurang lebih 5 km. Sepulang sekolah pasti dia
menunggu kakak kelas diparkiran depan sekolah dan gue lewat bersama teman-teman
gue. Terkadang gue suka ngejek dia dengan menyebut nama asal daerahnya. Dia pun
membalas dengan nama asal daerah gue. Setiap kali kami berpapasan, pasti dia
gue pandang dari ujung ke ujung. Memandangnya adalah kebahagiaan gue waktu itu.
Gue
pernah dapet nomor hapenya dari temen. Sempat smsan juga, tapi hanya sebentar.
Kata temen gue itu nomor Bokapnya. Ketika gue smsan sama dia, gue bahagia
banget. Jingkrak-jingkrak gak keruan. Pas sms gue dibales, gue sempat beli
trampoline terus gue loncat-loncat sampai gue mental ke Kutub Utara. Akhirnya
gue nyasar dan ketemu Masha and The Bear. Tapi ternyata itu hanya mimpi. Gue
malah pernah smsan sama Bokapnya akhirnya kami jadian. Terus gue sempat dinner
sama Bokapnya. Ehh, kalimat tadi cuma bohong kok. Cuma bercanda kok. Seriusan
tadi cuma bercanda.
Satu
semester gue lalui bersama Ikhsan. Gue sering curhat ke Ninda kalau gue suka
sama Ikhsan. Tapi yaa namanya juga masih polos-polosnya, kami tidak tahu harus
berbuat apa. Ujian Semester 1 sudah dimulai. Gue pisah ruangan dengan Ikhsan.
Tapi setidaknya kami masih bisa bertemu ketika pulang sekolah. Dulu gue
orangnya cukup aktif dikelas, begitupun dengan Ikhsan dan Fahmi. Terkadang kami
saling berlomba-lomba bertanya kepada guru. Tapi ketika nilai ujian dibagikan,
ternyata Ikhsan lebih pintar dari yang gue bayangkan. Nilainya lebih tinggi
daripada gue. Gue pun tidak mau kalah sama dia. Orang pintar kan biasanya
mencari jodoh yang lebih pintar dari dia. Gue mau terlihat luar biasa dimata
orang yang gue sukai.
Semester
dua pun dimulai. Gue mulai belajar keras. Berusaha menunjukkan yang terbaik
kepada Ikhsan. Kami masih sering ngobrol bareng. Semester dua juga dibarengi
dengan les computer disekolah gue. Di ruangan computer pun kami masih bercanda
tawa. Sikap Ikhsan yang humoris dan membuat kejahilan dengan teman-temannya
semakin membuat gue tertarik dengan dia. Dengan adanya les computer itu berarti
kami pulangnya sore. Les dibuka jam 2 siang dan berakhir jam 4 sore. Sepulang
les computer, Ikhsan menunggu jemputan orang tuanya, karena kakak kelas yang
bisa nebengin dia pasti udah pulang duluan. Gue sendiri pulang jalan kaki dan
bertemu Ikhsan di Ruko depan SMP. Kami saling bertegur sapa. Dan gue bahagia
banget bisa kenal sama dia.
Ujian
semester dua pun dimulai. Gue sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Gue
belajar keras biar gue bisa mengimbangi Ikhsan dikelas dua dan akhirnya Ikhsan
juga suka sama gue.
Tapi
hasil ujian gue tidak sebanding dengan harapan gue yang sekelas sama Ikhsan saat
kelas dua nanti, hasil ujian gue cukup memuaskan, rangking gue naik, tapi masih
tetap rangking Ikhsan lebih tinggi daripada gue. Kenaikan kelas dua ternyata
kelasnya diacak. Alasan guru mengacak kami adalah untuk menambah teman. Tapi tidak semudah itu karena
satu tahun bersama teman-teman sekelas sudah menjadi kekuatan untuk kelas kami.
Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Mengenal kepribadian setiap murid
dan sudah terbangun rasa toleransi diantara kami. Dengan pindahnya kami dikelas
yang tidak kami inginkan, berarti kami harus beradaptasi dengan teman-teman
yang baru yang belum tentu sesuai dengan yang kami inginkan. Sempat ada
pertentangan akibat peristiwa tersebut. Tapi keputusan guru tidak dapat
diganggu gugat.
Kami
pun berpisah. Gue berada dikelas 8C, Ninda dikelas 8H, dan Ikhsan dikelas 8G.
Jarak kelas kami pun cukup berjauhan. Kelas 8A masih tetap dikelas Bilingual,
sampingnya kelas 8B dan 8C, kelas 8D didepan kelas 8C, sedangkan kelas 8E, F,
G, H berada disatu blok yang bersebelahan dengan kelas 8C. Setidaknya gue bisa
melihat kelas 8G dari jendela meski hanya jam istirahat. Dikelas 8C, gue
bertemu teman-teman baru. Gue satu bangku denga Zahra, murid terpintar dikelas
gue. Gue belajar banyak dari Zahra. Masa-masa kelas 8 gue adalah masa terpintar
gue. Karena gue sering diajari Zahra tentang pelajaran dan kebaikan. Tetapi
masa-masa kelas 8 juga masa yang buruk buat gue karena gue jarang bertemu
Ikhsan.
Semenjak
kelas 8, gue udah tidak tahan sama perasaan gue. Jarak antara gue dan Iksan
semakin renggang. Gue punya cara tersendiri buat Ikhsan peka, biar tahu kalau
gue suka sama dia. Temen gue yang sekelas sama Ikhsan banyak. Gue pernah kirim
salam buat Ikhsan melalui temen gue, Amel. ‘Mel, titip salam yaa buat Ikhsan’,
kata gue. ‘Ohh, iya iya ntar gue sampein kok’, jawab Amel. Amel adalah
sahabat gue juga sejak SMP karena kami
tetetangga dan kami sering pulang bareng. Dia juga udah tau kalo gue suka sama
Ikhsan.
Tidak
hanya Amel yang gue titipin salam, tapi banyak teman-teman yang lain juga.
Sepertinya Ikhsan sudah tahu kalau gue suka sama dia. Sikap Ikhsan kegue
semakin dingin. Dia pura-pura tidak tahu kalo gue suka sama dia. Mungkin dia
benci sama gue gara-gara gue sering titip salam keteman-teman gue buat dia.
Kami
saling menjauh. Gue seperti orang asing dimata dia. Tapi Tuhan masih baik
kepada gue. Mata gue masih diijinkan untuk melihat ciptaan-Nya itu. Semenjak
kelas 8, Ikhsan sudah memakai motor kesekolah. Sebuah motor khasnya, motor mio
warna biru muda dan helm dengan warna yang senada, juga jaket hitam dengan
aksen abu-abu cirri khasnya. Jadi, tiap pulang sekolah gue masih sempet lihat
dia pulang pake motornya itu. Setiap kali gue berangkat pagi, pasti gue lihat
kearah parkirannya Ikhsan, terus gue lihat motornya udah ada apa nggak. Kalau
udah ada berarti dia udah berangkat. Menurut pengintaian gue, ternyata dia
sering berangkat pagi.
Selama
dikelas 8, bukannya gue udah melupakan Ikhsan tapi gue tambah sayang sama dia.
Gue berusaha keras untuk terlihat mengagumkan dimata dia. Tapi tetap saja
sikapnya semakin dingin kegue. Apakah dia benar-benar membenci gue? Atau dia
sudah punya cewe lain yang dia sukai? Atau dia memang tidak suka gue dan
menghindari gue?
Gue
tidak pernah tau jawaban atas semua pertanyaan itu. Gue tidak tahu isi pikiran
Ikhsan. Gue tidak tahu dia suka gue atau tidak. Dan tidak akan pernah tahu itu.
Kalau
pun waktu itu gue berani nyatain perasaan gue kedia pasti harga diri gue jatuh.
Karena pada waktu itu cewe nembak cowo itu dianggap sesuatu yang tabu. Selain
itu, kemungkinan besar cinta gue ditolak sama dia. Gue hanya bisa mengubur
perasaan ini dalam-dalam.
Dikelas
8 juga gue sering minjem buku atau novel dari perpus karena jaraknya yang
dekat. Kebetulan itu selalu datang tiba-tiba. Ketika gue selesai meminjam buku,
gue keluar dari perpustakaan. Mengambil sepatu dan duduk dibangku depan perpus.
Saat gue membenarkan tali sepatu, malaikat gue datang dengan anggun. Gue
menunduk mengikat tali sepatu, tapi gue tahu kalau itu Ikhsan. Gue bangun.
Entah makhluk apa yang merasuk kedalam tubuh gue waktu itu, tiba-tiba gue
memanggil namanya. Pelan tapi pasti, ‘Ikhsan..’. Dia berhenti dengan langkah
kaki kiri didepan dan kaki kanan dibelakang. Dia menengok kebelakang. Dia
memandang kearah gue. Mata kami saling bertemu. Dia memberi isyarat dengan
kepalanya seperti mengatakan, ‘Ada apa?
Kok manggil gue?’. Tapi gue hanya diam seribu bahasa. Seketika itu dunia
seperti berhenti. Gue merasa berada di FTV, dimana ketika seorang cewe
memanggil cowo yang disukainya selama bertahun-tahun dan cowo itu merespon
dengan menatap matanya secara langsung. Kemudian mereka semakin akrab dan
ternyata cowonya juga suka sama cewe itu, lalu mereka jadian. Akhirnya mereka
menikah dan mempunyai dua anak: bahagia selamanya. Oke khayalan yang terlalu
tinggi buat gue.
Kami
saling bertatapan, angin berhembus memeriahkan suasana. Rambut ikalnya yang
sedikit panjang, bentuk tubuhnya yang tidak berubah, matanya menatap kemata
gue. Gue jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Selang beberapa detik dia berbalik
dan berjalan lagi karena merasa tidak ada respon dari gue.
Setelah
kejadian itu, gue senyum-senyum sendiri. Bahagia banget. Dunia seperti berpihak
kepada gue. Kebetulan itu teramat sangat membuat gue yakin kalo Ikhsan tidak
membenci gue. Mungkin dia mau focus dengan sekolahnya dulu. Sehingga waktu dia tahu kalo gue suka sama
dia, dia ngejauhin gue.
Peristiwa
bersejarah itu masih gue ingat dan tidak akan pernah gue lupakan. Perpustakaaan
menjadi saksi bisu, beberapa lukisan yang tertempel dimading juga melihat
peristiwa itu, dan sorot matanya akan terus gue kenang sampai kapan pun.
Waktu
begitu cepat berlalu. Kami menjalani kehidupan masing-masing. Beberapa kali gue
sms nomornya tapi tidak ada balasan sama sekali. Disela-sela kehidupan yang gue
jalani, gue masih sempat memikirkan dan merindukan sosok yang membuat gue
kecanduan untuk terus mencintainya. Oh iya, pernah suatu hari ketika gue masih
dekat dengan Ikhsan, gue bertanya tentang akun Facebooknya. Tapi dia bilang
kalo dia bilang tidak mempunyai akun Facebook. Beberapa kali gue mencari
akunnya diFacebook, dari nama panggilan sampai nama lengkap udah gue coba, tapi
tetap saja gue tidak menemukan akun Facebooknya. Ikhsan orangnya memang tidak
terlalu peduli dengan sosmed yang seperti itu. Di Facebook banyak orang alay
dan Ikhsan bukan orang alay. Pada waktu itu adalah tenarnya Facebook dikalangan
remaja. Tidak seperti sekarang, dulu satu orang hanya mempunyai satu akun
sosmed: Facebook. Sekarang satu orang mempunyai lebih dari 5 akun sosmed:
Facebook, Twitter, BBM (Blackberry Messenger), Line, Whats App, Ask FM, Path,
Instagram, G+, dan teman-temannya. Termasuk gue salah satunya.
Kami
pun naik kekelas 9. Kelas pun diacak kembali. Gue berada dikelas 9D dan Ikhsan
dikelas 9C. Ya, kelas kami berdampingan tapi kami jarang bertemu. Dikelas 9,
Ikhsan lebih mengurung diri, gue pun begitu. Ke kantin pun gue jarang ketemu
sama Ikhsan. Tapi beberapa kali kami tidak sengaja berpapasan. Sama seperti
kelas 8, gue masih sempat melihatnya ketika pulang sekolah.
Kelas
9 adalah masa-masa tersibuk kami. Ujian Nasional akan kami tempuh. Berbagai
ujian praktik yang cukup menguras tenaga pun kami lakukan. Tak terkecuali ujian
praktik seni tari. Kami semua dibagi dalam beberapa kelompok untuk menampilkan
performance yang terbaik. Ikhsan, juga ikut berpartisipasi dalam ujian praktik
ini. Tapi sayang, ketika Ikhsan perform, gue tidak sempat melihatnya menari
diatas panggung. Karena waktu itu gue juga sedang mempersiapkan dance kelompok
gue. Kata temen gue yang nonton, gerakan Ikhsan cukup energik dan Ikhsan
membawakannya dengan baik. Senang kalo mendengar kabar seperti itu.
Masa
putih-biru adalah masa-masa terindah gue. Selama tiga tahun itu gue belajar
banyak. Seperti layaknya sekolah-sekolah kota lainnya. Disekolah kami sering
diadakan event. Entah itu event pameran, karnaval, ataupun event ekskul dan
tidak lupa dies nata lies.
Setiap
tiga tahun sekali, sekolah kami merayakan ulang tahun dengan meriah. Seperti
mengadakan perayaan ulang tahun dengan mengundang band alumni dan juga
lomba-lomba yang menarik. Sekitar bulan Oktober, sekolah kami berulang tahun
yang ke-32 tahun. Waktu itu pertengahan kelas 8. Gue dan teman-teman datang
dengan gembira. Melihat keramaian orang berjoget ria mendengarkan alunan music
yang riang. Ditengah keramaian seperti ini, gue masih sempat mencari-cari sosok
pujaan hati gue. Berharap kami saling bertegur sapa dan bercanda tawa seperti
dulu. Kenyataan selalu tidak seindah dengan harapan yang gue bayangkan. Gue
hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dia semakin tampak dewasa menggunakan baju
bebas seperti itu. Menikmati keindahan Tuhan dari jauh sudah membuat gue
bahagia.
Berbagai
macam event sudah kami lewati bersama.
Tibalah saat kelulusan. Bertempat di lapangan basket dengan tema hitam putih,
kami saling mengucapkan sayonara. Gue melihat Ikhsan dengan kesedihan dalam
hati. Kemeja putih dan celana hitamnya semakin membuatnya tampak dewasa. Gue
belum siap mengucapakan perpisahan dengan dia. Masih terlalu dini untuk
mengatakan satu kata itu.
Kami
pun berpisah. Gue masuk SMA yang masih satu daerah dengan SMP gue. Sedangkan Ikhsan
masuk ke SMK dipusat Kota Jepara. Sampai sekarang gue tidak tahu keadaan dia
seperti apa. Mencari akun Facebook dan Twitter dengan namanya pun tidak kunjung
ketemu. Sudah hampir tiga tahun semenjak perpisahan kami. Setiap gue ke pantai
melewati rumahnya, gue berharap kebetulan itu datang. Gue berharap bisa bertemu
dengan dia meskipun hanya sekilas. Tapi takdir berkata lain. Kami masih tidak
diijinkan Tuhan untuk bertemu kembali.
Andaikan
Tuhan mengijinkan kami untuk bertemu, pasti gue akan jatuh cinta lagi untuk
kesekian kalinya. Bagi gue, Ikhsan adalah cinta pertama gue. Kalau Dewa tidak
termasuk cinta gue, karena gue hanya sebatas mengagumi saja dan Dewa tidak tahu
tentang itu. Sedangkan Ikhsan, 3 tahun gue memendam perasaan yang menyakitkan
itu. Tapi Ikhsan sudah tahu kalau gue suka sama dia. Kalau gue bertemu lagi
dengan Ikhsan, gue akan minta kontak dia, ngajak ketemuan dia, gue bilang
perasaan gue selama tiga tahun itu, ditolak apa tidak terserah dia yang penting
gue udah nyatain perasaan gue kedia. Sampai sekarang Ikhsan tetap menjadi cinta
pertama sekaligus cinta tak terbalas gue. Karena cinta, gue pernah berusaha
menjadi yang terbaik. Cinta sudah membuat gue berubah untuk menjadi pribadi
yang lebih baik.